Rabu, 20 Agustus 2014

Tapian Kandih



Tapian Kandis
Oleh : Fajri BN
Dahulu kala, disebuah desa kecil yang bernama Tapian Kandih di kaki Gunung Sapan,  Hiduplah penduduk yang makmur dan sejahtera. Selain bertani, sebahagian penduduk juga menanam asam kandis.  Warga yang tinggal di kaki gunung Sapan ini mempunyai kebiasaan yang sama. Mereka memanfaatkan sungai yang  terletak di tengah-tengah kampung. Semua aktifitas seperti mandi, mencuci, dan sampai buang air. Kebiasaan kedua, semua penduduk beramai-ramai mengambil air minum di kaki gunung Sapan pada pagi dan sore hari. Air  minum yang diambil dari kaki gunung dipercaya sangat menyehatkan tubuh, karena bisa langsung diminum tanpa harus dimasak terlebih dahulu.  
Di tepi sungai hidup sebuah keluarga yang berkecukupan. Pasangan suami istri yang mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Tapian. Tapian adalah anak penurut, pintar, dan rajin menolong orangtuanya. Orangtua Tapian sehari-hari mengurus sawah mereka. Sementara Tapian bertugas memetik asam kandis di tepi sungai. Setelah memetik buah kandis, dia membawanya keliling kampung menggunakan karung yang dipikulnya untuk dijual. Para warga juga sudah tahu kapan dan jam berapa Tapian akan datang menjajakan buah kandis itu, karena Tapian biasa berkeliling kampung sekali dalam  dua hari pada sore hari.
Semakin hari asam kandis milik keluarga Tapian semakin bertambah, maka mereka berniat untuk menanam asam kandis di sepanjang sungai yang mengalir di sepanjang kampung tersebut. Penduduk juga mengizinkan keluarga Tapian untuk menanam, karena bisa melindungi mereka dari panasnya terik matahari saat mandi dan mencuci.
Beberapa tahun kemudian, setelah asam kandis yang ditanam di tepi sungai itu sudah bisa dipanen. Tapian mengajak teman-temannya untuk membantunya memanen asam kandis tersebut untuk dibagikan kepada warga. Karena ini panen pertama, dan juga rasa terima kasihnya kepada warga, Tapian sengaja membagikannya secara cuma-cuma, tanpa harus dibayar. Warga pun senang mendapat asam kandis yang diberikan Tapian.
Setelah semua asam kandis dibagikan kepada penduduk, Tapian langsung pulang ke rumah. Tapian tampak letih sekali, badannya  panas, seharian bekerja dan panas-panasan keliling kampung.
“Kamu demam Nak?” Tanya ibu  sambil mengusap kepala Tapian yang tidur di atas tikar pandan yang sudah lusuh.
“Tidak Bu, Tapian Cuma letih, besok juga sembuh kok”. Jawab Tapian yang tidak ingin orangtuanya bersedih.
Si ibu yang agak cemas melihat putra satu-satunya, langsung memanggil suaminya yang pergi melatih silat di gelanggang yang terletak di tengah-tengah kampung.
“Bang, Tapian demam, pulanglah dulu sebantar, carilah obat untuknya!” Pinta ibu kepada suaminya yang sedang istirahat latihan.
Mendengar istrinya, sang ayah dan para muridnya bergegas melihat Tapian. Ibu Tapian tidak langsung pulang, dia pergi menjemput  seorang kiyai untuk mengobati Tapian. Tidak beberapa lama, ibu dan kiyai sampai di rumah. Kiyai ini dianggap ahli dalam ilmu agama, juga pandai mengobati orang yang sakit.
“Tapian Cuma disapa makhluk halus, ambilkan saja air putih!” Perintah Kiyai
Air putih yang diambil di do’akan oleh Kiyai, dan setelah itu disemburkan keseluruh tubuh Tapian. Setelah selesai mengobati Tapian, Kiyai diantar pulang oleh ayah Tapian. Tapian yang sudah agak mendingan, langsung tidur sambil ditemani ibunya.
Keesokan harinya, terjadilah hujan lebat yang mengguyuri kampung, Tapian padahal masih ingin memetik buah kandis yang masih tersisa beberapa batang lagi di tepi sungai. Setelah hujan sudah mulai teduh, Tapian pergi memetik buah kandis itu. Kandis membawa sebuah karung sebagai tempatnya.
Setelah selesai mengambil buah kandis, Tapian turun ke sungai untuk mencuci tangan. Kandis tidak menyadari bahwa ada air bah yang datang begitu kencang dari hulu. Tapian terkejut terseret air, dia berusaha menggapai ranting dan tanaman kandis yang masih kecil-kecil di tepi sungai. Tapian berteriak minta tolong, tetapi tidak ada orang yang mendengar, sehingga dia hanyut terseret air.
Sepulang dari sawah, orangtua Tapian tidak melihat anaknya di rumah, malahan mereka tidak  melihat karung sudah yang biasa dipakai untuk memanen asam kandis. Orangtua Tapian berusaha mencari anaknya ke tepi sungai, tidak lama mencari,  mereka melihat sebuah karung yang sudah penuh berisi buah kandis di tepi sungai. Tetapi mereka tidak melihat ada Tapian disana. Mereka  panik, dan mencari Tapian keliling kampung. Mendengar orangtua tapian yang kehilangan anaknya,  Semua warga pun ikut mencari, tetapi Tapian tidak di temukan.
“Tapian, kenapa kamu mengambil Kandis hujan-hujan begini Nak?” Teriak orangtua yang kehilangan anaknya.
Semua warga ikut untuk mencari Tapian mengiliri sungai, mereka  memanggil nama Tapian dan  Kandis. Orangtua dan seluruh warga bersedih dengan hilangnya Tapian, mereka tidak percaya bahwa Tapian akan pergi secepat ini. Setelah kejadian itu, penduduk bermufakat memberi nama kampung itu Tapian Kandih, yang dipakai sampai sekarang.
Padang, 2013







1 komentar:

  1. assalamualaikum...kak judul buku dari tapian kandih ini apa kak?

    BalasHapus