Tapian
Kandis
Oleh
: Fajri BN
Dahulu kala, disebuah
desa kecil yang bernama Tapian Kandih di kaki Gunung Sapan, Hiduplah penduduk yang makmur dan sejahtera.
Selain bertani, sebahagian penduduk juga menanam asam kandis. Warga yang tinggal di kaki gunung Sapan ini
mempunyai kebiasaan yang sama. Mereka memanfaatkan sungai yang terletak di tengah-tengah kampung. Semua
aktifitas seperti mandi, mencuci, dan sampai buang air. Kebiasaan kedua, semua
penduduk beramai-ramai mengambil air minum di kaki gunung Sapan pada pagi dan
sore hari. Air minum yang diambil dari
kaki gunung dipercaya sangat menyehatkan tubuh, karena bisa langsung diminum
tanpa harus dimasak terlebih dahulu.
Di tepi sungai hidup
sebuah keluarga yang berkecukupan. Pasangan suami istri yang mempunyai seorang
anak laki-laki yang bernama Tapian. Tapian adalah anak penurut, pintar, dan
rajin menolong orangtuanya. Orangtua Tapian sehari-hari mengurus sawah mereka.
Sementara Tapian bertugas memetik asam kandis di tepi sungai. Setelah memetik
buah kandis, dia membawanya keliling kampung menggunakan karung yang dipikulnya
untuk dijual. Para warga juga sudah tahu kapan dan jam berapa Tapian akan datang
menjajakan buah kandis itu, karena Tapian biasa berkeliling kampung sekali
dalam dua hari pada sore hari.
Semakin hari asam
kandis milik keluarga Tapian semakin bertambah, maka mereka berniat untuk
menanam asam kandis di sepanjang sungai yang mengalir di sepanjang kampung
tersebut. Penduduk juga mengizinkan keluarga Tapian untuk menanam, karena bisa
melindungi mereka dari panasnya terik matahari saat mandi dan mencuci.
Beberapa tahun
kemudian, setelah asam kandis yang ditanam di tepi sungai itu sudah bisa
dipanen. Tapian mengajak teman-temannya untuk membantunya memanen asam kandis
tersebut untuk dibagikan kepada warga. Karena ini panen pertama, dan juga rasa
terima kasihnya kepada warga, Tapian sengaja membagikannya secara cuma-cuma,
tanpa harus dibayar. Warga pun senang mendapat asam kandis yang diberikan
Tapian.
Setelah semua asam
kandis dibagikan kepada penduduk, Tapian langsung pulang ke rumah. Tapian tampak
letih sekali, badannya panas, seharian
bekerja dan panas-panasan keliling kampung.
“Kamu demam Nak?” Tanya ibu sambil mengusap kepala Tapian yang tidur di
atas tikar pandan yang sudah lusuh.
“Tidak Bu, Tapian Cuma letih, besok juga
sembuh kok”. Jawab Tapian yang tidak ingin orangtuanya bersedih.
Si ibu yang agak cemas
melihat putra satu-satunya, langsung memanggil suaminya yang pergi melatih silat
di gelanggang yang terletak di tengah-tengah kampung.
“Bang, Tapian demam, pulanglah dulu
sebantar, carilah obat untuknya!” Pinta ibu kepada suaminya yang sedang
istirahat latihan.
Mendengar istrinya,
sang ayah dan para muridnya bergegas melihat Tapian. Ibu Tapian tidak langsung
pulang, dia pergi menjemput seorang
kiyai untuk mengobati Tapian. Tidak beberapa lama, ibu dan kiyai sampai di
rumah. Kiyai ini dianggap ahli dalam ilmu agama, juga pandai mengobati orang
yang sakit.
“Tapian Cuma disapa makhluk halus,
ambilkan saja air putih!” Perintah Kiyai
Air putih yang diambil
di do’akan oleh Kiyai, dan setelah itu disemburkan keseluruh tubuh Tapian.
Setelah selesai mengobati Tapian, Kiyai diantar pulang oleh ayah Tapian. Tapian
yang sudah agak mendingan, langsung tidur sambil ditemani ibunya.
Keesokan harinya,
terjadilah hujan lebat yang mengguyuri kampung, Tapian padahal masih ingin
memetik buah kandis yang masih tersisa beberapa batang lagi di tepi sungai.
Setelah hujan sudah mulai teduh, Tapian pergi memetik buah kandis itu. Kandis
membawa sebuah karung sebagai tempatnya.
Setelah selesai
mengambil buah kandis, Tapian turun ke sungai untuk mencuci tangan. Kandis
tidak menyadari bahwa ada air bah yang datang begitu kencang dari hulu. Tapian
terkejut terseret air, dia berusaha menggapai ranting dan tanaman kandis yang
masih kecil-kecil di tepi sungai. Tapian berteriak minta tolong, tetapi tidak
ada orang yang mendengar, sehingga dia hanyut terseret air.
Sepulang dari sawah,
orangtua Tapian tidak melihat anaknya di rumah, malahan mereka tidak melihat karung sudah yang biasa dipakai untuk
memanen asam kandis. Orangtua Tapian berusaha mencari anaknya ke tepi sungai,
tidak lama mencari, mereka melihat
sebuah karung yang sudah penuh berisi buah kandis di tepi sungai. Tetapi mereka
tidak melihat ada Tapian disana. Mereka panik, dan mencari Tapian keliling kampung.
Mendengar orangtua tapian yang kehilangan anaknya, Semua warga pun ikut mencari, tetapi Tapian
tidak di temukan.
“Tapian, kenapa kamu mengambil Kandis
hujan-hujan begini Nak?” Teriak orangtua yang kehilangan anaknya.
Semua warga ikut untuk
mencari Tapian mengiliri sungai, mereka
memanggil nama Tapian dan Kandis.
Orangtua dan seluruh warga bersedih dengan hilangnya Tapian, mereka tidak
percaya bahwa Tapian akan pergi secepat ini. Setelah kejadian itu, penduduk
bermufakat memberi nama kampung itu Tapian Kandih, yang dipakai sampai
sekarang.
Padang, 2013
assalamualaikum...kak judul buku dari tapian kandih ini apa kak?
BalasHapus