Rabu, 20 Agustus 2014

IMPLIKATUR (Pragmatik)



IMPLIKATUR


Oleh : Fajri BN
0910722011

Diajukan untuk melangkapi tugas Pragmatik











Jurusan Sastra Indonesia
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas

Pendahuluan

Pragmatik adalah studi makna dalam kaitannya dengan situasi ujaran. Pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi. Pragmatik menjadi studi mengenai makna ujaran dalam situasi tertentu.
Pragmatik mempelajari maksud ujaran, yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan. Pragmatik mempersoalkan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, dimana, kapan, dan bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di dalam pragmatik, tindak tutur merupakan analisis pragmatik. Dengan demikian pragmatik merupakan telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa dalam menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks secara tepat.
Pragmatik dan tindak tutur memandang konteks sebagai pengetahuan bersama antara pembicara dan pendengar dan pengetahuan tersebut mengarah pada interpretasi suatu tuturan. Artinya, dalam pragmatik digali hubungannya dengan pemakai bahasa atau penutur atau lebih luas lagi dengan situasi-situasi ujar. Pengetahuan atau konteks tertentu dapat mengakibatkan manusia mengidentifikasi jenis-jenis tindak tutur yang berbeda. Pragmatik  menjadi penting dalam linguistik. Pragmatik merupakan satu-satunya tataran dalam linguistik yang mengkaji bahasa dengan memperhitungkan juga penggunanya.
Pragmatik mempersoalkan makna yang muncul dari suatu tindak tutur, membaca maksud dari sebuah tuturan terlihat sederhana, namun juga tidak gampang. Kadang kala informasi yang dituturkan olah komunikator memiliki maksud terselubung. Oleh karena itu setiap manusia harus dapat memahami maksud dan makna tuturan yang diucapkan oleh lawan tuturnya. Dalam hal ini tidak hanya sekedar mengerti apa yang telah diujarkan oleh si penutur tetapi juga konteks yang digunakan dalam ujaran tersebut. Kegiatan semacam ini akan dapat dianalisis dan dipelajari dengan pragmatik dalam kajian ilmu pragmatik juga dibahas tentang implikatur. Pragmatik mengkaji kemungkinan implikatif yang muncul dari tuturan/ujaran. Ada banyak penggunaan bahasa yang bersifat implikatif seperti iklan, kolom-kolom di surat kabar, Short Message Send, tindak tutur dalam telepon, bahkan tindak tutur yang terjadi secara langsung antara dua orang atau lebih. Untuk memahami bentuk-bentuk bahasa yang implikatif perlu adanya pengajian dan analisis yang mendalam.




Pembahasan


Implikatur merupakan salah satu kajian dalam pragmatik. Secara sederhana implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh yang tersurat. Implikatur dimaksudkan sebagai suatu ujaran yang menyiratkan suatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Menggunakan implikatur dalam percakapan berarti menyatakan sesuatu secara tidak langsung.
Menurut Wijana (2011:38) proposisi (suatu asumsi yang dihasilkan penutur) yang diimplikasikan itu disebut implikatur (implicature). Karena implikatur bukan merupakan bagian tuturan yang mengimplikasikannya, hubungan kedua prosuposisi itu bukan merupakan konsekuensensi mutlak (necessary consequence). Oktavianus (2006:90) menjelaskan bahwa implikatur adalah implikasi lain yang dapat diturunkan dari suatu ujaran. Dengan kata lain, implikatur adalah informasi implisit yang dapat ditentukan berdasarkan suatu tuturan. Implikatur adalah maksud, keinginan, atau ungkapan hati yang tersembunyi.
Ujaran yang mengandung implikatur menyiratkan sesuatu yang berbeda. Konsep tentang implikatur pertama kali dikenalkan oleh H.P. Grice dalam Oktavianus (2006) untuk memecahkan masalah tentang makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan dengan teori semantik biasa. Suatu konsep yang paling penting dalam ilmu pragmatik dan yang menonjolkan pragmatik sebagai suatu cabang ilmu bahasa ialah konsep implikatur percakapan. Konsep implikatur ini dipakai untuk menerangkan perbedaan yang sering terdapat antara “apa yang diucapkan” dengan “apa yang diimplikasi”. Penggunaan implikatur dalam berbahasa mempunyai pertimbangan seperti untuk memperhalus tuturan, menjaga etika kesopanan, menyindir dengan halus (tak langsung), dan menjaga agar tdak menyinggung perasaan secara langsung.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan implikatur, yaitu
1.      implikatur bukan merupakan bagian dari tuturan,
2.      implikatur bukanlah akibat logis tuturan,
3.      sebuah tuturan memungkinkan memiliki lebih dari satu implikatur, dan itu bergantung pada konteksnya.
Menurut Crystal dalam Oktavianus (2006, 91) Implikatur secara umum dibagi menjadi dua macam yaitu implikatur non konvensional (impikatur percakapan) dan implikatur konvensional (non percakapan). Impikatur percakapan diderifasi berdasarkan maksim percakapan. Sedangkan implikatur non percakapan diderifasi berdasarkan konvensi-konvensi tertentu. Imlikatur non percakapan dimarkahi oleh penanda-penanda tertentu seperti karena itu, oh.., Dll. 

Berikut contoh–contoh implikatur :
(1)   Seorang tamu baru saja masuk ke ruang tamu dan berkata “udara panas sekali ya…”.
Pernyataan itu mempunyai bermacam-macam makna yang diimplikasikan, yaitu sebagai berikut
-          meminta tuan rumah menghidupkan kipas angina atau AC
-          meminta kepada tuan rumah untuk membuka jendela atau pintu sehingga udara ruang menjadi sejuk
-          meminta kepada tuan rumah untuk berbicara di teras rumah saja
-          meminta kepada tuan rumah untuk menyediakan air es atau air dingin
-          meminta kepada tuan rumah untuk mematikan lampu.

(2)   “Suto adalah orang Medan sehingga wataknya keras…
Implikasi tuturan tersebut adalah bahwa watak keras Suto karena dia orang Medan. Apabila Suto bukan orang Medan, yang dominan suku Batak. Tentu saja tuturan tersebut tidak berimplikasi bahwa watak keras Suto karena ia orang Medan.

(3)   Suatu kesempatan suatu pengurus Mesjid berkata :
“Pembangunan masjid kita sampai hari ini sudah mencapai tahap kedua, tepatnya 2 tahun 2 bulan. Namun sampai saat ini keramik yang sudah kita pesan belum dipasang juga. Saudara-saudara, lihatlah ke atas, langit-langit masjid ini belum sepenuhnya selesai. Untuk itu malam yang penuh barokah ini kita bertekat untuk menuntaskan semuanya. Alhamdulillah bapak Wali Kota kita malam ini  juga hadir pada acara kita ini”.
Tuturan tersebut dapat mengandung implikasi agar yang hadir pada kesempatan itu, khususnya bapak Wali Kota untuk dapat menyumbang dan membantu pembangunan mesjid yang sedang berlangsung.
(4)  a : Bambang datang
                   b : Rokoknya disembunyikan
(5)  a : Bambang datang
                   b : Aku akan pergi dulu
(6)  a : Bambang datang
                   b : Kamarnya dibersihkan
Jawaban b dalam (4) mungkin mengimplikasikan bahwa Bambang adalah perokok, tetapi ia tidak pernah membeli rokok. Merokok kalau ada yang memberi, dan tidak pernah memberi temannya dan sebagainya. Jawaban b dalam  contoh (5) mungkin mengimplikasikan bahwa b tidak senang dengan Bambang. Dan jawaban dalam (6) mengimplikasikan bahwa Bambang adalah seseorang yang bersih. Ia akan marah–marah melihat sesuatu yang kotor. Penggunaan kata mungkin dalam menafsirkan implikatur yang ditimbulkan oleh sebuah tuturan tidak terhindarkan sifatnya sehubungan banyaknya kemungkinan implikasi yang muncul dari sebuah tuturan/ujuran.
(7) A: Wah, panas sekali, ya, sore ini ! Kamu kok tidak berkeringat, apa nggak kegerahan? 
     B: Nggak! Aku sudah mandi tadi.
Atau contoh lain sehubungan dengan implikatur percakapan. Kalimat Aku sudah mandi tadi sebagai jawaban suatu dialog. secara literal, memang tidak bersangkut-paut dengan kalimat yang diucapkan oleh lawan bicaranya sebelumnya, tetapi yang tersirat pada kalimat jawaban itu menyariatkan bahwa mengamnggap udara memang panas. Dan mungin saja menyindir oanga yang diajak bicara tersebut.
Implikatur juga  memberikan makna yang berkebalikan dari bentuk ujarannya. Meski implikatur bentuk mempunyai maknanya berkebalikan tetapi tidak menimbulkan pertentangan logika.
Seorang ibu melihat anaknya memanjat pohon, kemudian mengatakan kepada anaknya :
(8) “Ayo, naik lebih tinggi lagi. Ayo, naik sampai puncak, ayo teruskan...”

Ujaran tersebut tidak dimaksudkan untuk menyuruh anaknya agar memanjat lebih tinggi lagi, tetapi sebaliknya `menyuruh anaknya turun, karena memanjat pohon itu berbahaya, dapat berakibat jatuh dari pohon`, dan seterusnya.

(9). Dia memiliki banyak relasi. Karena itu ia dapat pekerjaan dengan mudah.
Contoh di atas merupakan salah satu contoh dari implikaut non pecakapan. Kalimat tersebut dimarkahi oleh karean itu. Dalam kalimat tersebut tidak terjadi percakapan tetapi adanya permarkah akrean itu dapat mengimplikasikan bahwa relasi membaut dia mendapat pekerjaan dengan mudah.
Dalam tuturan implikatif, penutur dan lawan tutur harus mempunyai pengalaman yang sama dalam suatu konteks. Jika tidak, maka akan terjadi suatu kesalahpahaman atas tuturan yang terjadi di antara keduanya. Dalam hubungan timbal balik di konteks budaya kita, penggunaan implikatur terasa lebih sopan, misalnya untuk tindak tutur menolak, meminta, memberi nasihat, menegur dan lain-lain. Tindak tutur yang melibatkan emosi mitra tutur pada umumnya lebih diterima jika disampaikan dengan implikatur.
Kemampuan untuk memahami implikatur dalam sebuah tuturan tergantung pada kompetensi linguistik yang dikuasai seseorang. Seorang penutur tidak mungkin menguasai seluruh unsur bahasa karena kompetensi linguistik seseorang itu terbatas. Namun dengan keterbatasan ini, seorang penutur mampu menghasilkan ujaran yang tidak terbatas. Seorang penutur dan lawan tutur akan mampu memahami dan menghasilkan ujaran baru yang benar-benar baru dalam bahasanya.







































Simpulan


Implikatur mengungkap makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh yang tersurat (esksplikatur). Implikatur ada untuk menjelaskan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik. Implikatur dapat memberikan penjelasan fungsional atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori linguistik (struktural). Implikatur memberikan penjelasan eksplisit adanya perbedaan antara apa yang diucapkan secara lahiriah dengan apa yang dimaksudkan oleh suatu ujaran dan pemakai bahasa pun memahaminya. Implikatur dapat menerangkan berbagai macam gejala kebahasaan yang secara lahiriah tampak tidak berkaitan atau bahkan berlawanan, tetapi ternyata berhubungan.



































DAFTAR PUSTAKA


Dewa Putu Wijana, I. 1996. Dasar–Dasar Pragmatik. Yogyakarta : Andi Yogyakarta.

Oktvianus. 2006. Analisis Wacana, Lintas Bahasa. Padang:Andalas University Press.

.


Tapian Kandih



Tapian Kandis
Oleh : Fajri BN
Dahulu kala, disebuah desa kecil yang bernama Tapian Kandih di kaki Gunung Sapan,  Hiduplah penduduk yang makmur dan sejahtera. Selain bertani, sebahagian penduduk juga menanam asam kandis.  Warga yang tinggal di kaki gunung Sapan ini mempunyai kebiasaan yang sama. Mereka memanfaatkan sungai yang  terletak di tengah-tengah kampung. Semua aktifitas seperti mandi, mencuci, dan sampai buang air. Kebiasaan kedua, semua penduduk beramai-ramai mengambil air minum di kaki gunung Sapan pada pagi dan sore hari. Air  minum yang diambil dari kaki gunung dipercaya sangat menyehatkan tubuh, karena bisa langsung diminum tanpa harus dimasak terlebih dahulu.  
Di tepi sungai hidup sebuah keluarga yang berkecukupan. Pasangan suami istri yang mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Tapian. Tapian adalah anak penurut, pintar, dan rajin menolong orangtuanya. Orangtua Tapian sehari-hari mengurus sawah mereka. Sementara Tapian bertugas memetik asam kandis di tepi sungai. Setelah memetik buah kandis, dia membawanya keliling kampung menggunakan karung yang dipikulnya untuk dijual. Para warga juga sudah tahu kapan dan jam berapa Tapian akan datang menjajakan buah kandis itu, karena Tapian biasa berkeliling kampung sekali dalam  dua hari pada sore hari.
Semakin hari asam kandis milik keluarga Tapian semakin bertambah, maka mereka berniat untuk menanam asam kandis di sepanjang sungai yang mengalir di sepanjang kampung tersebut. Penduduk juga mengizinkan keluarga Tapian untuk menanam, karena bisa melindungi mereka dari panasnya terik matahari saat mandi dan mencuci.
Beberapa tahun kemudian, setelah asam kandis yang ditanam di tepi sungai itu sudah bisa dipanen. Tapian mengajak teman-temannya untuk membantunya memanen asam kandis tersebut untuk dibagikan kepada warga. Karena ini panen pertama, dan juga rasa terima kasihnya kepada warga, Tapian sengaja membagikannya secara cuma-cuma, tanpa harus dibayar. Warga pun senang mendapat asam kandis yang diberikan Tapian.
Setelah semua asam kandis dibagikan kepada penduduk, Tapian langsung pulang ke rumah. Tapian tampak letih sekali, badannya  panas, seharian bekerja dan panas-panasan keliling kampung.
“Kamu demam Nak?” Tanya ibu  sambil mengusap kepala Tapian yang tidur di atas tikar pandan yang sudah lusuh.
“Tidak Bu, Tapian Cuma letih, besok juga sembuh kok”. Jawab Tapian yang tidak ingin orangtuanya bersedih.
Si ibu yang agak cemas melihat putra satu-satunya, langsung memanggil suaminya yang pergi melatih silat di gelanggang yang terletak di tengah-tengah kampung.
“Bang, Tapian demam, pulanglah dulu sebantar, carilah obat untuknya!” Pinta ibu kepada suaminya yang sedang istirahat latihan.
Mendengar istrinya, sang ayah dan para muridnya bergegas melihat Tapian. Ibu Tapian tidak langsung pulang, dia pergi menjemput  seorang kiyai untuk mengobati Tapian. Tidak beberapa lama, ibu dan kiyai sampai di rumah. Kiyai ini dianggap ahli dalam ilmu agama, juga pandai mengobati orang yang sakit.
“Tapian Cuma disapa makhluk halus, ambilkan saja air putih!” Perintah Kiyai
Air putih yang diambil di do’akan oleh Kiyai, dan setelah itu disemburkan keseluruh tubuh Tapian. Setelah selesai mengobati Tapian, Kiyai diantar pulang oleh ayah Tapian. Tapian yang sudah agak mendingan, langsung tidur sambil ditemani ibunya.
Keesokan harinya, terjadilah hujan lebat yang mengguyuri kampung, Tapian padahal masih ingin memetik buah kandis yang masih tersisa beberapa batang lagi di tepi sungai. Setelah hujan sudah mulai teduh, Tapian pergi memetik buah kandis itu. Kandis membawa sebuah karung sebagai tempatnya.
Setelah selesai mengambil buah kandis, Tapian turun ke sungai untuk mencuci tangan. Kandis tidak menyadari bahwa ada air bah yang datang begitu kencang dari hulu. Tapian terkejut terseret air, dia berusaha menggapai ranting dan tanaman kandis yang masih kecil-kecil di tepi sungai. Tapian berteriak minta tolong, tetapi tidak ada orang yang mendengar, sehingga dia hanyut terseret air.
Sepulang dari sawah, orangtua Tapian tidak melihat anaknya di rumah, malahan mereka tidak  melihat karung sudah yang biasa dipakai untuk memanen asam kandis. Orangtua Tapian berusaha mencari anaknya ke tepi sungai, tidak lama mencari,  mereka melihat sebuah karung yang sudah penuh berisi buah kandis di tepi sungai. Tetapi mereka tidak melihat ada Tapian disana. Mereka  panik, dan mencari Tapian keliling kampung. Mendengar orangtua tapian yang kehilangan anaknya,  Semua warga pun ikut mencari, tetapi Tapian tidak di temukan.
“Tapian, kenapa kamu mengambil Kandis hujan-hujan begini Nak?” Teriak orangtua yang kehilangan anaknya.
Semua warga ikut untuk mencari Tapian mengiliri sungai, mereka  memanggil nama Tapian dan  Kandis. Orangtua dan seluruh warga bersedih dengan hilangnya Tapian, mereka tidak percaya bahwa Tapian akan pergi secepat ini. Setelah kejadian itu, penduduk bermufakat memberi nama kampung itu Tapian Kandih, yang dipakai sampai sekarang.
Padang, 2013